Scroll untuk baca artikel
https://www.estehindonesia.com/
Example floating
Example floating
Opini

Masyarakat Perlu Waspadai Provokasi Narasi Reset Indonesia

2
×

Masyarakat Perlu Waspadai Provokasi Narasi Reset Indonesia

Share this article
https://www.citilink.co.id/

Oleh : Deka Prasetya )*

Narasi “Reset Indonesia” kembali menguat di ruang publik dan media sosial, menuntut perhatian serius dari masyarakat luas. Perbincangan tersebut berkembang cepat, didorong oleh tagar digital, diskusi daring, serta gelombang mobilisasi opini yang memosisikan gagasan reset sebagai jawaban atas beragam persoalan bangsa. Namun di balik kemasan perubahan, narasi tersebut membuka ruang provokasi yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional dan persatuan sosial.

Example 300x600

Sejumlah elemen masyarakat menilai bahwa stabilitas nasional tetap menjadi prasyarat yang utama demi proses keberlanjutan pembangunan bangsa. Karena tanpa adanya ketertiban umum dan iklim sosial yang kondusif itu, maka sudah barang tentu agenda kesejahteraan yang seharusnya bisa berjalan dengan lancar akan menjadi terganggu.

Dalam konteks tersebut, seruan kewaspadaan muncul agar masyarakat tidak terseret arus agitasi politik yang memanfaatkan ketidakpuasan publik. Ruang demokrasi konstitusional telah menyediakan mekanisme penyaluran aspirasi yang sah, sehingga dorongan perubahan tidak perlu mengambil jalur konflik.

Kekhawatiran semakin menguat setelah gelombang demonstrasi pada Agustus–September 2025 memunculkan berbagai istilah emosional seperti “Indonesia Gelap” dan “Indonesia Cemas”, termasuk juga salah satunya adalah isu “Reset Indonesia”.

Pengamat sosial politik menilai konstruksi bahasa semacam itu tidak selalu mencerminkan realitas objektif, namun efektif membangun persepsi krisis. Pada fase tersebut, penyebaran hoaks dan potongan informasi tanpa verifikasi mengisi lini masa digital, memperlebar jarak antarwarga dan memicu kecurigaan horizontal.

Ketua Umum Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB), AR Waluyo Wasis Nugroho atau Gus Wal, melihat “Reset Indonesia” sebagai wacana bermuatan kepentingan yang sejatinya belum memiliki definisi dan arah yang jelas. Menurutnya, penyebutan reset sering diartikan sebagai tuntutan perubahan radikal pada sistem politik, ekonomi, dan sosial tanpa kalkulasi risiko disintegrasi. Sejarah bangsa menunjukkan bahwa perubahan yang berjalan tanpa konsensus nilai berulang kali memicu konflik dan polarisasi.

Gus Wal menempatkan Indonesia sebagai rumah bersama yang berdiri di atas fondasi Pancasila, UUD 1945, nilai agama, serta semangat Bhinneka Tunggal Ika. Dari perspektif tersebut, PNIB mengedepankan paham Hubbul Wathon Minal Iman sebagai landasan etis menjaga keutuhan nasional. Prinsip ini yang berakar kuat dalam tradisi Islam Nusantara, telah terbukti mampu menopang persatuan lintas agama, suku, dan budaya, sekaligus juga menjadi benteng dalam menghadapi radikalisme, terorisme, dan separatisme.

Pandangan serupa disampaikan juga oleh Direktur Lembaga Kajian Strategis dan Advokasi Nasional BEM PTNU, Arya Eka Bimantara bahwa penggunaan istilah reset sebagai slogan aksi tersebut kerap kali dapat mengaburkan perbedaan antara kritik konstruktif yang sebenarnya merupakan hal bagus, dan ajakan perubahan ekstrem secara radikal. Terlebih, sejatinya Indonesia telah membangun mekanisme reformasi konstitusional sendiri melalui adanya amandemen, legislasi, serta partisipasi publik. Apabila terdapat upaya untuk mengabaikan koridor tersebut dan justru mendorong terjadinya lompatan yang radikal, maka jelas hal itu justru semakin berisiko dalam menciptakan kekacauan sosial.

Arya menegaskan Pancasila, dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menempatkan agama sebagai sumber moral publik tanpa memaksakan bentuk negara agama atau negara sekuler. Konsensus pendiri bangsa tersebut menjaga keseimbangan antara kebebasan berkeyakinan dan harmoni sosial.

Survei nasional menunjukkan bahwa mayoritas warga di Indonesia mengutamakan terjaganya stabilitas, keamanan, dan kesinambungan pembangunan ketimbang terjadinya perubahan secara ekstrem dan radikal yang tidak sama sekali tidak terukur hasilnya seperti itu.

Fakta sosial tersebut jelas semakin memperkuat perihal argumen bahwa kewaspadaan publik menjadi hal yang sangat diperlukan oleh seluruh masyarakat, utamanya dalam menghadapi berbagai gejolak dan dinamika yang terjadi.

Dimensi lain terkait dengan seruan kepada seluruh masyarakat untuk senantiasa menjaga kewaspadaan datang dari Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Addin Jauharudin. Addin yang menilai bahwa setiap fase kebangkitan ekonomi Indonesia memang kerap beriringan dengan adanya upaya dari pihak eksternal untuk mencoba melemahkan kepercayaan publik.

Pada masa lalu, intervensi asing sering berjalan melalui pendanaan organisasi lokal. Pola tersebut kini bergeser menuju rekayasa opini, manipulasi persepsi, dan pembenturan masyarakat dengan pemerintah melalui ruang digital. Strategi semacam itu dinilai efektif menciptakan instabilitas tanpa keterlibatan langsung.

Menurut Addin, pembentukan salah paham kebijakan dan eksploitasi emosi publik melalui media sosial berpotensi menghambat kemajuan nasional. Bila dibiarkan, dinamika tersebut dapat mengganggu iklim investasi, kepercayaan domestik, serta ketahanan sosial. Indonesia yang tengah bergerak menuju kemandirian ekonomi melalui hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam membutuhkan konsistensi kebijakan, bukan guncangan persepsi.

Keseluruhan pandangan tersebut menegaskan satu benang merah: masyarakat perlu memilah antara kritik untuk perbaikan dan provokasi berkedok perubahan. Waspada tidak berarti menutup ruang dialog, melainkan memperkuat nalar kritis, verifikasi informasi, dan komitmen pada jalur konstitusional.

Menjaga persatuan nasional menjadi tanggung jawab kolektif agar perbedaan aspirasi tidak berubah menjadi titik api perpecahan. Dalam iklim demikian, Indonesia dapat terus melangkah maju tanpa terperosok ke jurang instabilitas akibat narasi yang menyesatkan.

)* Penulis adalah pengamat sosial

Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *