Oleh : Naya Santika )*
Kebijakan perumahan rakyat merupakan salah satu wujud nyata kehadiran negara dalam menjamin hak dasar masyarakat atas tempat tinggal yang layak dan terjangkau. Dalam upaya menjawab tantangan pemenuhan kebutuhan hunian, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat melalui langkah konkret menjaga stabilitas harga rumah subsidi. Keputusan untuk tidak menaikkan harga rumah subsidi pada tahun ini menjadi bagian dari upaya menjaga keterjangkauan dan memperluas akses kepemilikan rumah bagi kalangan masyarakat bawah yang selama ini kesulitan mendapatkan hunian layak.
Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menegaskan bahwa meskipun ada usulan dari sejumlah pengembang untuk menaikkan batas harga jual rumah subsidi, pemerintah tetap pada keputusan untuk tidak melakukan penyesuaian harga hingga akhir tahun 2025. Hal ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan rakyat, bukan semata kepentingan pasar. Direktur Jenderal Kawasan Permukiman Kementerian PKP, Fitrah Nur, menilai bahwa para pengembang masih dapat menjalankan usahanya sesuai regulasi yang berlaku, dan margin keuntungan yang mereka peroleh masih tergolong wajar. Oleh sebab itu, tidak terdapat alasan mendesak untuk menaikkan harga jual rumah subsidi yang justru akan memberatkan masyarakat penerima manfaat.
Upaya stabilisasi harga ini juga selaras dengan langkah strategis pemerintah dalam menambah kuota rumah subsidi melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Pemerintah telah menaikkan target kuota rumah subsidi pada tahun 2025 menjadi 350.000 unit, meningkat signifikan dari target sebelumnya sebanyak 220.000 unit. Penambahan ini tidak hanya mencerminkan keseriusan pemerintah dalam memperluas kepemilikan rumah rakyat, tetapi juga menjadi solusi atas backlog perumahan yang masih menjadi tantangan di Indonesia. Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menyatakan bahwa hingga pertengahan tahun 2025, sebanyak 126.932 unit rumah telah disalurkan kepada masyarakat, dengan nilai anggaran mencapai Rp15,73 triliun.
Kebijakan ini bukan sekadar soal angka dan kuota, melainkan menyangkut masa depan jutaan keluarga Indonesia yang mendambakan rumah layak sebagai fondasi kehidupan yang lebih baik. Dengan skema FLPP yang menawarkan bunga tetap 5% dan tenor panjang hingga 20 tahun, serta uang muka hanya 1%, program ini memberi kemudahan nyata bagi masyarakat MBR dalam mengakses hunian impian mereka. Untuk wilayah Jabodetabek misalnya, batas harga rumah subsidi tetap berada di kisaran Rp185 juta, sebuah angka yang masih masuk akal bagi masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah.
Pemerintah juga telah menetapkan kriteria MBR secara jelas dan terukur melalui Peraturan Menteri PKP Nomor 5 Tahun 2025. Regulasi ini mengatur besaran penghasilan maksimal masyarakat agar dapat mengakses rumah subsidi, dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan kebutuhan spesifik di setiap zona wilayah. Sebagai contoh, untuk masyarakat di wilayah Papua, Papua Tengah, atau Papua Pegunungan, batas penghasilan maksimal ditetapkan lebih tinggi dibandingkan daerah lain, menyesuaikan tingkat biaya hidup dan ketersediaan lahan. Dengan sistem zonasi ini, distribusi rumah subsidi menjadi lebih adil dan tepat sasaran.
Pemerintah pun tak henti mendorong kolaborasi antara kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan sektor perbankan agar penyaluran FLPP lebih optimal. Pendampingan kepada masyarakat juga terus dilakukan, terutama bagi kelompok pekerja informal dan wiraswasta, yang selama ini kerap kesulitan memenuhi persyaratan administrasi perbankan. Berbagai relaksasi dan kemudahan, seperti penyederhanaan laporan keuangan serta pengakuan atas surat penghasilan dari RT/RW, menjadi bukti bahwa negara tidak hanya hadir sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator dan penyokong dalam mewujudkan keadilan sosial.
Di sisi lain, keberhasilan program ini juga menggambarkan pentingnya kesinambungan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Dukungan pemerintah daerah dalam menyediakan lahan, mempercepat perizinan, serta memfasilitasi pembangunan kawasan permukiman menjadi faktor kunci dalam percepatan pembangunan rumah subsidi. Dalam hal ini, pendekatan kolaboratif menjadi elemen vital demi memastikan bahwa manfaat program ini dapat menjangkau lebih banyak masyarakat, terutama di daerah-daerah dengan kebutuhan hunian yang mendesak.
Komitmen pemerintah dalam menjaga harga rumah subsidi tetap stabil tidak dapat dipisahkan dari tekad besar untuk menciptakan keadilan ekonomi dan mengurangi kesenjangan sosial. Akses terhadap rumah yang layak bukan hanya tentang tempat tinggal, tetapi juga menyangkut martabat dan peluang bagi keluarga untuk tumbuh secara sehat, aman, dan produktif. Rumah yang layak menjadi titik awal bagi peningkatan kualitas hidup, akses pendidikan, kesehatan, dan stabilitas sosial.
Langkah menjaga harga rumah subsidi agar tetap stabil di tengah tekanan pasar, permintaan pengembang, serta inflasi biaya konstruksi merupakan keputusan yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Ini adalah bentuk nyata perlindungan negara terhadap kelompok rentan yang selama ini kesulitan menjangkau sektor formal perumahan. Ketegasan pemerintah melalui peran Kementerian PKP dan BP Tapera menunjukkan bahwa program subsidi bukan sekadar retorika, melainkan kebijakan strategis yang terus diimplementasikan secara konsisten.
Dengan menjaga stabilitas harga dan menambah kuota subsidi, pemerintah tidak hanya memperluas akses hunian, tetapi juga membangun fondasi yang kokoh bagi masa depan bangsa. Keberhasilan ini patut diapresiasi dan dijadikan inspirasi dalam pelaksanaan kebijakan publik di sektor lainnya, demi terwujudnya Indonesia yang adil, makmur, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
)* Analis Kebijakan Publik Kajian Stategis Indonesia